MAKALAH PAI
“BAB PERNIKAHAN”
Nama Anggota Kelompok :
1.
Izzah Shafitri
( 13 )
2.
Nurul Khikmah ( 21
)
3.
Rema Marninda Zahara ( 26 )
4.
Rifka Annida Meizasari ( 27 )
XII MIA 1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apabila
kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah
sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah
perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran
sexs yang disah kan oleh agama.dari sudut pandang ini, maka pada saat orang
melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan
untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi
kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan
ini, kebutuhan biologis sebenar nya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah
menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia
adalah hanya dengan pernikahn, pernikahan merupakan satu hal yang sangat
menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan
ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat
membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan
sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun
lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana
setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Smua hal itu akan
terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang
sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit
tentang:
a.
Definisi pernikahan
b.
Hikmah/manfaat pernikahan
c.
Tujuan Pernikah dalam islam
d.
Hukum nikah
e. Syarat sah
perkawinan
f.
Wali Nikah
g. Akad nikah (shigat ijab
Kabul)
h.
Larangan dalam Pernikahan
i.
Wanita yang haram dinikahi
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk mengetahui makna dari pernikahan itu
2.
Untuk memahami hikmah, hukum-hukum, dan tujuan
pernikahan
3.
Agar bisa memilih pasangan hidup dengan tepat
menurut pandangan islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah
berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul
(‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang
diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang
ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud
pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t.
menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan
mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga
berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.
Islam
adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan.
Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan
tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah
tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi
sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari
mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana
memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya.
Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang
meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang
sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini
insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila
dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak
mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rosul.
Arti
dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda
yaitu laki-laki dan perempuan yang
menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin
membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan
keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap
orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.
B.
Hikmah Pernikahan
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-ruum,21)
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan
hidup manusia didunia ini berlanjut, darigenerasi ke generasi. Selain juga
menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari
godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur
hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam
wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban untuk mengerjakan
tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan
menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan
kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.
Adapun
hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
a.
Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan
jalan berkembang biak dan berketurunan.
b.
Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam
perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu
yang diharamkan.
c.
Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn
cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
d.
Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
C.
Tujuan Pernikahan dalam Islam
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang
Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan
yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang
perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang
sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan
lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran
utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk
membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah
menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang
perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya
: Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah,
maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah
ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.
3. Untuk Menegakkan Rumah
Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
Yakni
keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk
(kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya
: “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi
tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at
Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan
syari’at Islam adalah wajib.
4.
Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut
konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik
kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu
lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal
shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah
(sedekah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Artinya
: Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !.
Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai
Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan
mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana
menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya,
bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda
lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang
halal), mereka akan memperoleh pahala !” .
5. Untuk Mencari Keturunan
Yang Shalih
Tujuan
perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam,
Allah berfirman :
“Artinya
: Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang
bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang
terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak
yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan
diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
D.
Hukum Nikah
Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan, hal
ini didasarkan pada firman Allah SWT :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(An-Nisaa’, 3)
Dari
keterangan diatas disimpulkan bahwa hukum nikah ada 5 :
a.
Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang
kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya)
sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar
(mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon istrinya.
b.
Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat
mengawal nafsunya.
c.
Harus kepada orang yang tidak ada padanya
larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan
d.
Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan
dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan
kepada isteri.
e.
Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk
memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak
punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah
E. Syarat Sah Perkawinan
Sebelum
menginjak pada unsur-unsur perkawinan, ada baiknya jika kita mengetahui syarat
perkawinan terlebih dahulu. Pada dasarnya, syarat sah perkawinan itu ada 2
macam, yaitu:
- Laki-laki
dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya keduanya bukan muhrim bagi
yang lain.
- Akad
nikahnya dihadiri para saksi.
Dalam
persyaratan pernikahan ini, terjadi perbedaan Ulama. Diantaranya:
I.
Ulama Hanafi mengatakan bahwa syarat
pernikahan berhubungan dengan sighat dan sebagian lagi berhubungan dengan akad,
serta sebagian lagi dengan saksi
a. Sigat,
yaitu ibarat ijab dan qabul. Syaratnya adalah:
1. Menggunakan
lafal tertentu, baik sarih maupun kinayah
2. Dilakukan
dalam satu majlis
3. Didengar
oleh saksi
4. Antara ijab
dan qabul tidak berbeda maksud dan tujuan
5. Lafal sigat
tidak disebut untuk waktu tertentu
b. Akad,
dengan syarat apabila kedua pengantin berakal, balig dan merdeka
c. Saksi,
harus terdiri dari dua orang. Syaratnya adalah:
1. Berakal
2. Balig
3. Merdeka
4. Islam
5. Keduanya
mendengar
II.
Ulama Syafi’i berpendapat bahwa syarat
perkawinan ada yang berhubungan dengan sigat, ada yang berhubungan dengan wali,
serta yang berhubungan dengan kedua calon pengantin dan ada yang berhubungan
dengan saksi.
Adapun
unsur atau rukun-rukun perkawinan menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
1. Adanya
calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
2. Adanya wali
dari pihak calon pengantin wanita
3. Adanya dua
orang saksi
4. Sigat akad
nikah
Imam Malik berkata bahwa rukun pernikahan itu
ada lima macam:
1. Wali dari
pihak perempuan
2. Mahar
3. Calon
pengantin pria
4. Calon
pengantin perempuan
5. Sigat akad
nikah
Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa
rukun perkawinan ada lima macam, diantaranya:
1. Calon
pengantin laki-laki
2. Calon
pengantin perempuan
3. Wali’
4. Dua orang
saksi
5. Sigat/akad
nikah
F. Wali Nikah
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah
akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai
rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad
perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang
diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Adapun orang-orang yang berhak menempati kedudukan
wali itu ada 4 kelompok:
1. Wali nasab ; wali yang
mempunyai hubungan tali kekeluargaan dengan wanita yang akan melangsungkan
pernikahan.
2. Wali hakim ; wali nikah
dari hakim
3. Wali tahkim ; wali yang
diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.
4. Wali maula
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk
yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali
siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua
kelompok:
Pertama: wali dekat (wali
qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali
ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain
dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a. Saudara laki-laki
kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b. Saudara laki-laki
seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c. Anak saudara laki-laki kandung,
kalau tidak ada pindah kepada.
d. Anak saudara laki-laki
seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e. Paman kandung, kalau
tidak ada pindah kepada.
f.
Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g. Anak paman kandung,
kalau tidak ada pindah kepada.
h. Anak paman seayah,
i.
Ahli waris kerabat lainya kalau ada.
Orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Sudah dewasa (baligh)
dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi
wali.
b. Laki-laki. Tidak boleh
perempuan menjadi wali.
c. Muslim, tidak sah orang
yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
d. Orang merdeka.
e. Tidak berada dalam
pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa orang yang berada di bawah
pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukanya sebagai
wali merupakan suatu tindakan hukum.
f. Tidak sedang melakukan
ihram.
g. Berpikiran baik. Orang
yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena
dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak
menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat
menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang
lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab
yang qaarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal,
islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali
ab’ad menurut urutan di atas.
G. Akad Nikah (shigat ijab Kabul)
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara
dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab
adalah penyerahan dari pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua.
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun
perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat yang telah
disepakati oleh ulama adalah sebagai beriku :
1.
Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan
qabul.
2.
Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda,
seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3.
Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan
tanpa terputus walaupun sesaat.
4.
Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan ungkapan yang
bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan
untuk selama hidup.
5.
Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan
terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan
lafaz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan saksi yang hadir dalam perkawinan
itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang.
H. Larangan dalam
Pernikahan
a. Nikah mut’ah (kontrak)
Nikah yang ditentukan waktunya, tentu saja pernikahan
ini diharamkan hukumnya karena menikah itu untuk selamanya bukan untuk
sementara.
b. Nikah beda agama
Ada 2 golongan:
1. Wanita muslim dengan
pria non muslim
Wanita muslimah sama sekali tidak diperbolehkan
menikah dengan pria non muslim. Seperti firman Allah pada QS.Al-Mumtahanah:10
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
2. Pria muslim dengan
wanita non muslim
Janganlah pria muslim menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman. Seperti dalam firman Allah QS. Al-Maidah:5
Artinya : Pada
hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat Termasuk orang-orang merugi.
[402] Ada yang mengatakan wanita-wanita yang
merdeka.
Dan yang kedua golongan tersebut terdapat dalam QS.
Al-Baqarah:221
[2][12]
Artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
c. Nikah muhalil
I. Wanita yang Haram Dinikahi
1. Larangan nikah karena
pertalian nasab
2. Larangan nikah karena
hubungan sesusuan
3. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan mushaharah
( pertalian kerabat semenda )
4. Wanita yang haram
dinikahi karena sumpah li’an
J. Mahar Dalam Pernikahan
Mahar secara etimologi,
artinya maskawin.secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon
suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk memuliakan
istrinya.
Pemberian ini sebagai
pertanda dimulainya kehidupan berumah tangga.firman Allah :
QS.An-Nisaa Ayat : 4
(#qè?#uäur
uä!$|¡ÏiY9$#
£`ÍkÉJ»s%ß|¹
\'s#øtÏU
4
bÎ*sù
tû÷ùÏÛ
öNä3s9
`tã
&äóÓx«
çm÷ZÏiB
$T¡øÿtR
çnqè=ä3sù
$\«ÿÏZyd
$\«ÿÍ£D
ÇÍÈ
Artinya : Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan [267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Pemberian itu ialah
maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena
pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Syarat-syarat Mahar
Mahar dapat diberikan
kepada calon istri harus memenuhi syarat sbb:
1.
Harta berharga
2.
Barang suci dan bisa diambil manfaatnya
3.
Barang bukan barang ghasab
4.
Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Macam-macam Mahar
Ulama fikih mengatakan
bahwa mahar itu ada 2 macam, yaitu:
a.
Mahar musamma
Mahar musamma, yaitu
mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
b.
Mahar mitsli (sepadan)
Mahar mitsli yaitu
mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya
dua insane dengan jenis berbeda yaitu
laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian
atau akad.
2.
Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :
a.
Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan
jalan berkembang biak dan berketurunan.
b.
Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam
perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu
yang diharamkan.
c.
Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn
cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
d.
Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.
3.
Tujuan pernikahan :
a.
Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang
Asasi
b.
Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
c.
Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
d.
Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
e.
Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Rukun dan syarat
menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau
tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat itu ada yang berkaitan
dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi
rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria
dari unsur-unsur hukum.
Dalam pandangan islam
di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah
Allah dan sunnah Rasul. Dengan melihat kepada hakekat perkawinan itu merupakan
akad yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari
perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Agar akad nikah dapat
terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun nikah adalah :
1.
Calon suami istri
3.
Dua orang saksi
4.
Akad nikah
B. Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah
kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan
kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya,
sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
C. Daftar Pustaka
0 comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan baik, jika ada pertanyaan sesegera mungkin saya jawab