Sunday, April 10, 2016

Makalah PAI "Bab Pernikahan"



MAKALAH PAI
“BAB PERNIKAHAN”



Nama Anggota Kelompok :

1.     Izzah Shafitri                                               ( 13 )
2.     Nurul Khikmah                                           ( 21 )
3.     Rema Marninda Zahara                          ( 26 )
4.     Rifka Annida Meizasari                           ( 27 )

XII MIA 1


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah sisi. Dimana  pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-satunya jalan penyaluran sexs yang disah kan oleh agama.dari sudut pandang ini, maka pada saat orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan dia bukan saja memiliki keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan biologis nya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
 Sebagaimana kebutuhan lain nya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenar nya juga harus dipenuhi. Agama islam juga telah menetapkan bahwa stu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahn, pernikahan merupakan satu hal yang sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar sebagai sarana penyaluran kebutuhan sex namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalam nya. Smua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar di jalani dengan cara yang sesuai dengan jalur yang sudah ditetapkan islam.

B.     Rumusan Masalah
 Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit tentang:
a.       Definisi pernikahan
b.      Hikmah/manfaat pernikahan
c.       Tujuan Pernikah dalam islam
d.      Hukum nikah
e.       Syarat sah perkawinan
f.        Wali Nikah
g.       Akad nikah (shigat ijab Kabul)
h.      Larangan dalam Pernikahan
i.         Wanita yang haram dinikahi

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui makna dari pernikahan itu
2.      Untuk memahami hikmah, hukum-hukum, dan tujuan pernikahan
3.      Agar bisa memilih pasangan hidup dengan tepat menurut pandangan islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan

Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.
 Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rosul.
 Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.

B.     Hikmah Pernikahan

Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-ruum,21)
 Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini berlanjut, darigenerasi ke generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.
 Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya itu yaitu :
a.       Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
b.      Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c.       Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
d.      Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.

C.    Tujuan Pernikahan dalam Islam

 1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi

 Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

 2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur

 Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 “Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami

             Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
             “Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.”
 Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
 “Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
 Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.

 4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah

 Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 “Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !” .

5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

 Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :
 “Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
 Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.

D.    Hukum Nikah

Nikah merupakan amalan yang disyari’atkan, hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :  
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(An-Nisaa’, 3)

 Dari keterangan diatas disimpulkan bahwa hukum nikah ada 5 :

a.       Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar (mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon istrinya.
b.      Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
c.       Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan
d.      Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
e.       Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah

E.     Syarat Sah Perkawinan

Sebelum menginjak pada unsur-unsur perkawinan, ada baiknya jika kita mengetahui syarat perkawinan terlebih dahulu. Pada dasarnya, syarat sah perkawinan itu ada 2 macam, yaitu:
  1. Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya keduanya bukan muhrim bagi yang lain.
  2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Dalam persyaratan pernikahan ini, terjadi perbedaan Ulama. Diantaranya:
I.            Ulama Hanafi mengatakan bahwa syarat pernikahan berhubungan dengan sighat dan sebagian lagi berhubungan dengan akad, serta sebagian lagi dengan saksi

a.       Sigat, yaitu ibarat ijab dan qabul. Syaratnya adalah:

1.  Menggunakan lafal tertentu, baik sarih maupun kinayah
2.  Dilakukan dalam satu majlis
3.  Didengar oleh saksi
4.  Antara ijab dan qabul tidak berbeda maksud dan tujuan
5.  Lafal sigat tidak disebut untuk waktu tertentu

b.      Akad, dengan syarat apabila kedua pengantin berakal, balig dan merdeka
c.       Saksi, harus terdiri dari dua orang. Syaratnya adalah:

1.    Berakal
2.    Balig
3.    Merdeka
4.    Islam
5.    Keduanya mendengar

 II.            Ulama Syafi’i berpendapat bahwa syarat perkawinan ada yang berhubungan dengan sigat, ada yang berhubungan dengan wali, serta yang berhubungan dengan kedua calon pengantin dan ada yang berhubungan dengan saksi.
Adapun unsur atau rukun-rukun perkawinan menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
3. Adanya dua orang saksi
4. Sigat akad nikah
Imam Malik berkata bahwa rukun pernikahan itu ada lima macam:
1. Wali dari pihak perempuan
2. Mahar
3. Calon pengantin pria
4. Calon pengantin perempuan
5. Sigat akad nikah
Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa rukun perkawinan ada lima macam, diantaranya:
1. Calon pengantin laki-laki
2. Calon pengantin perempuan
3. Wali’
4. Dua orang saksi
5. Sigat/akad nikah

F. Wali Nikah

Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad  perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Adapun orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu ada 4 kelompok:
1.    Wali nasab ; wali yang mempunyai hubungan tali kekeluargaan dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.
2.    Wali hakim ; wali nikah dari hakim
3.    Wali tahkim ; wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.
4.    Wali maula
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a.       Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b.      Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c.       Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d.      Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e.       Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f.        Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g.       Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h.      Anak paman seayah,
i.         Ahli waris kerabat lainya kalau ada.

Orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.    Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
b.    Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c.     Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
d.    Orang merdeka.
e.    Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukanya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
f.      Tidak sedang melakukan ihram.
g.    Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qaarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.

G. Akad Nikah (shigat ijab Kabul)

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa  syarat. Di antara syarat yang telah disepakati oleh ulama adalah sebagai beriku :
1.    Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2.    Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3.    Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4.    Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selama hidup.
5.    Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan saksi yang hadir dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang.

H. Larangan dalam Pernikahan
a.      Nikah mut’ah (kontrak)
Nikah yang ditentukan waktunya, tentu saja pernikahan ini diharamkan hukumnya karena menikah itu untuk selamanya bukan untuk sementara.

b.     Nikah beda agama
Ada 2 golongan:

1.      Wanita muslim dengan pria non muslim
Wanita muslimah sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan pria non muslim. Seperti firman Allah pada QS.Al-Mumtahanah:10
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

2.      Pria muslim dengan wanita non muslim
Janganlah pria muslim menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Seperti dalam firman Allah QS. Al-Maidah:5
Artinya : Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.

[402] Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.
Dan yang kedua golongan tersebut terdapat dalam QS. Al-Baqarah:221
[2][12]
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

c.      Nikah muhalil
I. Wanita yang Haram Dinikahi
1.    Larangan nikah karena pertalian nasab
2.    Larangan nikah karena hubungan sesusuan
3.   Wanita yang haram dinikahi karena hubungan mushaharah ( pertalian kerabat semenda )
4.    Wanita yang haram dinikahi karena sumpah li’an

J.     Mahar Dalam Pernikahan
Mahar secara etimologi, artinya maskawin.secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk memuliakan istrinya.
Pemberian ini sebagai pertanda dimulainya kehidupan berumah tangga.firman Allah :
QS.An-Nisaa Ayat : 4
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  


Artinya : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan [267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.


Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

Syarat-syarat Mahar
Mahar dapat diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat sbb:
1.      Harta berharga
2.      Barang suci dan bisa diambil manfaatnya
3.      Barang bukan barang ghasab
4.      Bukan barang yang tidak jelas keadaannya

Macam-macam Mahar
Ulama fikih mengatakan bahwa mahar itu ada 2 macam, yaitu:
a.       Mahar musamma
Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
b.      Mahar mitsli (sepadan)
Mahar mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan.


BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
1.      Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insane dengan jenis berbeda yaitu    laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.

2.      Hikmah dalam pernikahannya itu yaitu :
a.       Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan.
b.      Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat seta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan.
c.       Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa denagn cara duduk-duduk dan bencrengkramah dengan pacarannya.
d.      Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan.

3.      Tujuan pernikahan :
a.       Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
b.      Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
c.       Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
d.      Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
e.       Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum. 
Dalam pandangan islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Dengan melihat kepada hakekat perkawinan itu merupakan akad yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.
Agar akad nikah dapat terlaksana, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun nikah adalah :
1.      Calon suami istri
2.      Wali
3.      Dua orang saksi
4.      Akad nikah

B.     Saran
 Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

C. Daftar Pustaka                                          





0 comments:

Post a Comment

Berkomentarlah dengan baik, jika ada pertanyaan sesegera mungkin saya jawab